Selingga.com (21/02) Jakarta. Demi konstitusi, pemerintah harus memberangkatkan jamaah yang gagal berangkat umrah. Dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 jelas disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 28 E menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Konstitusi adalah sebuah “perjanjian luhur” (Nobel Agreement) antara rakyat dan negara. Rakyat memberikan kuasa kepada negara agar hak-haknya dilindungi. Inilah yang disebut dengan mandat konstitusi. Ketika ada hak warga negara di dalam konstitusi, maka di sana ada kewajiban konstitusional negara. Ini kedudukannya simetris.
Hak keagamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 UUD 1945 merupakan sebuah hak paling mendasar (fundamental rights) dari warga negara. Karena merupakan sebagai hak fundamental atau non-derogable rights, maka tidak dapat dikesampingkan sama sekali. Salah satu hak keagamaan adalah, bagi umat Islam, menjalankan haji dan atau umrah. Indonesia baru memiliki UU Haji dan Umrah pada masa Presiden BJ Habibie. Pada saat itu BJ Habibie sangat berjasa dalam memikirkan pelaksanaan haji dan umrah dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Haji dan Umrah. Sebelumnya yang digunakan adalah aturan kolonial, yaitu Staatblad No. 689 Tahun 1922. Negara tidak memproteksi hak-hak jamaah umrah yang gagal berangkat yang jumlahnya ratusan ribu seperti jamaah PT First Anugerah Karya Wisata atau PT First Travel (FT) di mana yang gagal berangkat mencapai 63.310 orang jamaah ataupun PT Amanah Bersama Umat atau PT Abu Tours (AT) yang mencapai 86.720 jamaah korban.
Segala upaya hukum, baik pidana, perdata maupun kepailitan semuanya buntu, tidak membuahkan hasil. Jamaah tetap tidak berangkat, uangnya tetap tidak kembali. Pemerintah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI), betul. Meskipun terdiri dari 13 lembaga negara dan kementerian, seperti Kementerian Agama, Kemendagri, Kapolri, OJK, Kemendag, Kemenkoinfo, Kementerian Koperasi, BKPM, Kemendikbud, Kemenristek, dan PPATK, tapi SWI sangat lemah dan tidak memiliki legal seat yang kuat. SWI gagal memberikan solusi terhadap kegagalan massif jamaah umrah. Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan, SWI seharusnya powerful dan minimal memberikan alternatif solusi. Namun, semuanya tidak terjadi.
Dalam kasus First Travel, misalnya, di dalam putusan lembaga peradilan tertinggi di negeri ini, yakni Mahkamah Agung, aset yang berasal dari uang jamaah justru disita dan diambil negara. Padahal aset tersebut bukan hasil korupsi. Padahal berdasarkan Pasal 117 UU No. 8/2019 tentang Haji dan Umrah disebutkan bahwa uang jamaah tidak boleh diambil oleh siapa pun, termasuk negara. Aset tersebut bukan hasil korupsi, tetapi dari kantong para jamaah yang banyak di antara mereka hanya pedagang, satpam, penjual sayur, pensiunan, buruh, dan sejenisnya. Di mana keadilan?
Dalam kasus kegagalan massif jamaah First Travel, negara tidak hadir meskipun Menteri Agamanya (baik Menag Lukman Syaefuddin maupun Fahrul Rozi) memerintahkan agar semua jamaah yang gagal berangkat itu diberangkatkan atau uangnya dikembalikan. Menteri Agama Lukman mengeluarkan KMA No. 589/2017, sedangkan Menteri Agama Fahrul Rozi menyampaikan janjinya untuk memberangkatkan jamaah secara bertahap dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI. Kenyataannya sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat yang diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stress dan meninggal tanpa kejelasan. Padahal para jamaah itu ingin menapakkan kakinya, hadir ke Baitullah di Mekkah, ke Rumah Tuhan meski hanya sekali dalam hidupnya.
Negara tidak adil dan diskriminatif. Dalam kasus yang lain sesama perseroan terbatas (PT), negara justru pasang badan dan menalangi perusahaan yang bermasalah dan menggantinya kepada korban yang mengalami kerugian, penderitaan. Sebutlah misalnya dalam kasus PT Lapindo dengan kerugian hampir satu triliun rupiah atau juga PT Bank Century dengan kerugian 6,76 triliun atau juga PT Asuransi Jiwasraya dengan kerugian 22 triliun. Dalam kasus-kasus itu negara hadir dengan ceria dan ringan tangan. Mengapa dalam kasus First Travel maupun Abu Tours negara alpa?
Hasil penelitian TM. Luthfi Yazid tersebut, merekomendasikan negara dengan organnya yang disebut pemerintah, punya peluang dan kesempatan untuk memberangkatkan jamaah yang gagal berangkat secara massif itu dengan menggunakan dasar UU Haji dan Umrah. Berdasarkan Pasal tersebut, Presiden RI mengeluarkan penetapan Presiden ataupun Kepres dan menetapkan bahwa kegagalan massif yang mencapai ratusan ribu jamaah itu sebagai keadaan darurat dan luar biasa. Atas dasar itu pemerintah memberangkatkan para jamaah yang gagal berangkat itu.
Selain itu, TM. Luthfi Yazid merekomendasikan agar dilakukan review (regulation reform) atas semua norma dan aturan terkait pelaksanaan umrah. Jika ada yang inkoheren dengan mandat konstitusi, maka mesti direvisi, diamandemen, atau dicabut. Anjuran agar dilakukan digitalisasi penyelenggaraan umrah juga menjadi saran dalam disertasi tersebut.
“Dengan digitalisasi, biaya umrah dapat ditekan murah, jamaah dapat menentukan sendiri kapan akan berangkat umrah dan kapan akan kembali ke tanah air. Juga dapat menentukan akan transit, misalnya di Istanbul, Kairo atau Dubai, sambil istirahat. Semuanya dapat diatur dan dilaksanakan secara digital,” kata peraih gelar Doktor dalam bidang hukum dengan predikat Cum Laude ini.
Perbandingan dengan negara lain juga dilakukan dalam studi ini, yakni perbandingan dengan Malaysia, Singapore, Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong.
Kalau negara memilih untuk tidak memberangkatkan jamaah umrah yang gagal berangkat itu, berarti negara memilih untuk melakukan tindakan inkonstitusional. Kecuali pemerintah memilih untuk tidak menaati konstitusi, pasti negara tidak akan akan memberangkatkan jamaah yang ingin bersimpuh di Baitullah di Mekkah Al Mukarromah.
Inilah yang menjadi bahasan dan sorotan dalam disertasi T.M. Luthfi Yazid dengan judul “Tanggung Jawab Konstitusional Negara dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara” yang dipertahankan dalam sidang terbuka senat Universitas Mataram, 20 Februari 2021. Sebagai ketua sidang dan merangkap penguji adalah Rektor Universitas Mataram, Prof. Dr. Lalu Husni. Sederet penguji lainnya termasuk penguji tamu adalah Prof. Dr. Galang Asmara, Prof. Gatot Dwi, Hayyan ul Haq, S.H., LL.M., Ph.D., Prof. Dr. Zainal Asikin, Prof. Dr. Amiruddin, Dr. Hirsanuddin, S.H., dan Dr. Cahyowati. Dari luar Universitas Mataram sebagai penguji adalah guru besar Universitas Andalas sekaligus hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Saldi Isra dan Prof. Muhammad Aziz, Ph.D., guru besar University of Tokyo yang juga menjadi Ketua Masyarakat Islam Indonesia (KMII) di Jepang dan Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Dalam kesempatan ujian terbuka di Universitas Mataram tersebut, beberapa ucapan selamat disampaikan melalui link zoom oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, Ketua Komisi Yudisial RI, Prof. Dr. Muktie Fajar, Juru Bicara Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, dan Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana.
TM. Luthfi Yazid dalam penyampaian kesan dan pesannya mengucapkan banyak terima kasih kepada tamu-tamu yang hadir langsung di gedung rektorat, mengikuti lewat zoom, baik dari dalam maupun dari luar negeri ataupun yang mengirimkan karangan bunga. Cukup banyak ucapan selamat dengan mengirim bunga, misalnya dikirim oleh Sandiaga Uno, Anies Baswedan sekaligus yang mengucapkan selamat kepada Promovendus pada saat pembukaan ujian terbuka berlangsung melalui zoom meeting. Ucapan yang sama disampaikan juga oleh Ketua Komisi Yudisial, Prof. Dr. Mukti Fajar dan juga disampaikan oleh Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, guru besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Stafsus Wakil Presiden RI, Deputi Kemenko Maritim dan Investasi, Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sanjaja Hernanto, Pengurus Kongres Advokat Indonesia (KAI) seluruh Indonesia, Wakil Ketua Umum Peradi, M. Luthfie Hakim, mantan Wamenhukham, Denny Indrayana, advokat Heru Widodo, mantan Komut Pelindo, Refly Harun, Ketua GPAN, Brigjenpol (P) Siswandi, dan sebagainya. (Rilis).
Press Rilis ditandatangani oleh:
Dr. T.M. Luthfi Yazid, S.H., LL.M.
Email: tmluthfiyazid@yahoo.com
Email:tmluthfiyazid@jilolaw.com
Handphone: 0811871968
Jakarta Internastional Law Office (JILO),
Patra Office Tower 17, Suite 1717,
Jln Gatot Subroto, Jakarta