Selingga.com (23/10) Daik. Pemerintah Kabupaten Lingga melalui Dinas Kebudayaannya, terus berupaya melestarikan Budaya “Mandi Safar” yang telah ada semenjak zaman kerajaan dahulunya. Jalannya prosesi “Mandi Safar” yang digelar pada Rabu (23/10) tadi di Daik, Kabupaten Lingga, diramaikan juga dengan pawai kendaraan.
“Mandi Safar ini merupakan salah satu warisan yang ditinggalkan dari masa kerajaan dahulu. Mulai dari Kerajaan Riau-Johor-Lingga-Pahang, termasuk juga Kerajaan Riau-Lingga. Dari catatan sejarah yang kita miliki, bahwa meskipun Sultan Lingga yang terakhir, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1883-1911) yang mangkat di Singapura (Temasek) itu, pindah dari Lingga ke Penyengat, tapi setiap tahun nya pulang ke Lingga untuk Mandi Safar,” kata Kadis Kebudayaan Lingga, M. Ishak kepada pihak media, usai kegiatan.
Sebelumnya, tradisi “Mandi Safar” ini telah diusulkan ke Pemerintah Pusat dan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.
“Karena ini sudah menjadi warisan dan tetap dilakukan masyarakat dari tahun ke tahun, tentu ini harus kita lestarikan. Pemerintah Kabupaten Lingga bekerja sama dengan Provinsi Kepri, telah mengusulkan warisan ini ke Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Alhamdulillah pada tahun 2018 kemarin, oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah ditetapkan “Mandi Safar” ini sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia,” terang Ishak.
Di samping sebagai warisan budaya, M. Ishak juga menambahkan kalau budaya Mandi Safar ini mengandung nilai- nilai filosofi di dalamnya.
“Untuk diketahui bahwa “Mandi Sapar” ini mengandung filosofi atau makna yang religius, berupa doa dan harapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kita dijauhkan dari segala bahaya, malapetaka, dan bencana. Di samping itu, inti sari dari “Mandi Safar” itu adalah bagaimana mempererat tali silaturahmi antara masyarakat. Ini sangat penting sekali bagi kita dalam menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga silaturahmi, dan kebersamaan. Kemudian untuk mencintai alam. Karena kita tahu, “Mandi Sapar” itu banyak dilakukan pada tempat-tempat seperti sungai, pantai, di samping ada juga yang mandi di sumur, atau di rumah masing-masing. Untuk mandi yang di alam inilah, makna yang penting untuk menjaga alam, menjaga kelestarian lingkungan,” jelas Ishak.
Terkait dengan “Mandi Safar” sebagai destinasi wisata budaya nantinya, Ishak mengatakan kalau pihaknya akan mengemas semenarik mungkin dengan menambahkan kegiatan-kegiatan pendukung untuk kegiatan tersebut.
“Kami dari Pemerintah Kabupaten Lingga tentunya karena ini merupakan satu warisan dan bisa dijadikan satu destinasi wisata budaya, tentu dari tahun ke tahunnya, kegiatan ini akan kita kemas dengan sebaik mungkin dan ditambah dengan kegiatan-kegiatan pendukung. Agar kegiatan ini tetap menarik. Terutama pada saat acara pembukaannya,” kata Kadis Kebudayaan Kabupaten Lingga ini.
Namun, Ishak mengingatkan untuk tidak melanggar norma-norma dan filosofi dari kegiatan yang ada.
“Yang paling pentingnya, jangan sampai kegiatan ini melanggar norma-norma, filosofi-filosofi yang diharapkan. Kegiatan-kegiatan pendukung boleh dilaksanakan, tetapi lebih banyak sifatnya kepada religius atau bersifat budaya Melayu yang ada. Apalagi kabupaten ini terkenal dengan Kabupaten “Bunda Tanah Melayu”. Tentunya hal-hal yang bersifat warisan ini harus selalu kita lestarikan,” tambah Ishak.
Sementara itu, Sekda Lingga, Juramadi Esram yang mewakili Bupati Lingga, dalam sambutannya usai membuka kegiatan “Mandi Safar” hari itu, mengatakan kalau sebelumnya Sultan Abdurrahman Muazzam Syah melakukan “Mandi Safar” terakhirnya, sebelum dimakzulkan oleh pihak Belanda.
“Mandi Safar ini telah lama dilakukan setiap tahun oleh sebagaian besar masyarakat di Kabupaten Lingga. Dari catatan sejarah, meskipun Sultan Abdurrahman Muazzam Syah, Sultan Riau-Lingga yang terakhir telah pindah ke Pulau Penyengat, namun setiap tahunnya Sultan tetap pulang ke Lingga untuk melaksanakan Mandi Safar. Termasuk sebelum Sultan itu dimakzulkan oleh Belanda, itu pas waktu Mandi Safar. Ketika informasinya beliau dimakzulkan oleh Belanda, maka Sultan tidak pulang ke Penyengat lagi, beliau langsung pergi ke Singapura dan itu merupakan Mandi Safar yang terakhir Sultan Abdurrahman Muazzam Syah,” kata Juramadi Esram dalam sambutannya saat itu.
Sekda Lingga ini juga menambahkan, kalau pihak Pemkab Lingga akan berusaha untuk mengemas kegiatan “Mandi Safar” tersebut untuk setiap tahunnya.
“Pemerintah Kabupaten Lingga turut berupaya melestarikan kebudayaan “Mandi Safar” ini dan berikhtiar untuk mengemas kegiatan tersebut dari tahun ke tahun. Termasuk juga telah mengusulkan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ini ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Alhamdulillah pada Tahun 2018 tadi, berkat kerja sama dengan masyarakat Kabupaten Lingga, warisan budaya “Mandi Sapar” ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia,” kata Juramadi Esram. (Im).