Menakar Esensi dan Substansi Ormas di Era Demokrasi
(Sebua Refleksi Sosial Filosofis)
Oleh: Saverius, S.Fil., M.M.,CT.,CPS.,CHTc.
Sistem demokrasi modern organisasi kemasyarakatan (ormas) memiliki posisi strategis sebagai bagian dari “civil society” elemen masyarakat yang berperan sebagai penyeimbang kekuasaan negara dan jembatan antara rakyat dan kebijakan publik. Namun, tak jarang diketahui bahwa dalam praktiknya, ormas sering kali terjebak dalam formalisme struktural, kehilangan daya kritis, dan bahkan menjelma sebagai alat kekuasaan. Ini menjadi panggilan etis dan filosofis untuk menakar kembali esensi dan substansi ormas dalam demokrasi kita yang terus tumbuh ini.
Makhluk Sosial dan Ruang Publik
Filsafat politik klasiknya Aristoteles, memandang manusia sebagai _“zoon politikon”_ makhluk yang secara alamiah hidup dalam polis (komunitas politik), dan hanya dalam komunitas itulah ia mewujudkan potensinya secara penuh. (Aristoteles, Politics,1998). Esensi ormas lahir dari kecenderungan kodrati yaitu dorongan manusia untuk berasosiasi, berorganisasi, dan menciptakan ruang deliberatif. Pandangan semacam ini sebenarnya sudah dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville yang menekankan pentingnya asosiasi sukarela sebagai penopang demokrasi di Amerika. Ia melihat ormas sebagai sarana pendidikan politik warga, yang mengembangkan kesadaran kolektif, solidaritas horizontal, dan partisipasi aktif tanpa dominasi negara. (Alexis de Tocqueville, Democracy in America, 2003).
Dalam perspektif modern, filsuf Jürgen Habermas menekankan pentingnya _“public sphere”_ ruang publik yang rasional, inklusif, dan non koersif, di mana ormas menjadi aktor utama dalam membentuk opini public. (Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, 1989). Di sinilah letak esensi ormas bukan sekadar entitas legal-formal, melainkan agen dialog sosial yang hidup dalam diskursus etis.
_*Kesadaran Kritis dan Komitmen Etis*_
Substansi keberadaan ormas tidak terletak pada jumlah anggotanya, tetapi pada substansi epistemik dan etika sosial yang diusungnya. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut pentingnya _“conscientização”_, kesadaran kritis yang membebaskan manusia dari ketertindasan melalui refleksi dan aksi. (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,1970). Ormas yang sehat adalah yang mampu memfasilitasi warga berpikir kritis atas realitas sosial dan mempromosikan perubahan struktural.
Filsafat moralnya, Immanuel Kant menyatakan bahwa tindakan hanya bermakna bila dilakukan berdasarkan _“good will”_ dan prinsip universal yang rasional. Maka, ormas yang hanya beroperasi demi kepentingan sektoral, kekuasaan, atau intimidasi tidak memiliki _“moral worth”_. Substansi ormas mestinya berakar pada nilai-nilai etik seperti keadilan, kesetaraan, inklusivitas, dan empati sosial.
_*Krisis dan Deviasi Ormas*_
Dalam lanskap kontemporer, kita menyaksikan apa yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai _“banality of evil”_ di mana kekerasan dan kebodohan menjadi rutinitas yang dianggap normal. Banyak ormas mengalami deviasi dari ruang etis menjadi aktor intimidatif, dari organ masyarakat menjadi alat oligarki.
Fenomena radikalisme, politisasi ormas, dan praktik premanisme adalah gejala dari krisis substansi. Ormas kehilangan orientasi karena dibajak oleh kepentingan ekonomi politik jangka pendek. Di sinilah negara harus hadir bukan untuk mengekang kebebasan berserikat, melainkan menegakkan regulasi yang adil demi menjamin hak dan keamanan publik.
_*Membangun Ormas yang Kritis dan Reflektif*_
Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa _“civil society”_ yang sehat. Maka perlu reorientasi nilai pendidikan kader ormas dengan pendekatan _“civic ethics”_, pemulihan fungsi edukatif dan advokatif, serta partisipasi aktif dalam perumusan kebijakan publik. Konsep _“deliberative democracy”_ menuntut agar ormas bukan hanya bersuara, tapi menyuarakan kebenaran dengan cara yang rasional dan inklusif.
Maka menakar ormas bukan sekadar menilai strukturnya, tetapi menggali jiwanya apakah ormas menjadi ruang hidup demokrasi atau justru instrumen represi berjubah kebebasan.