Batam (06/05). Akhirnya kapal feri dengan kapasitas sekitar seratus lebih bangku penumpang itu telah merapat di Pelabuhan Telaga Punggur pada Kamis (02/05) tadi. Waktu menunjukkan hampir pukul 13.00 WIB. Artinya hampir 5 jam aku menduduki kursi penumpang sejak kapal feri itu meninggalkan Pelabuhan Jagoh, Kabupaten Lingga dan membawa pelayaran kami, penumpangnya ke Batam. Tentunya kejenuhan yang terkadang harus aku akali dengan tidur, bangun, tidur, bangun, minum kopi, merokok, dan melanjutkan kembali tidur dengan harapan tidak merasa terperangkap lama di badan kapal feri ini selama perjalanan.
Kota Batam masih seperti beberapa minggu yang lalu saat aku melewati “Pulau Kalajengking” ini, hanya sekadar untuk menumpang lewat dalam agenda pulang kampung. Namun kali ini tujuan akan berakhir di Batam Center, tempat di mana aku akan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilaksanakan oleh PWI Pusat bekerja sama dengan pihak BUMN.
Esoknya, dengan meminjam kendaraan roda dua milik adik yang tinggal di Sekupang dan tentunya sekalian menjadi tempat menginap selama di Batam, aku mulai memasuki ruang tempat berlangsungnya Uji Kompetensi Wartawan. Salah satu ruangan yang ada di Harmoni One Hotel ini terlihat sedikit nyaman meskipun mungkin belum bisa menyamankan sebagian peserta UKW yang terdiri dari jenjang muda, madya, dan utama dan semuanya berjumlah 25 orang wartawan dari media yang berbeda dan tentu juga beda daerah asalnya, sebelum mengetahui hasil final dari UKW tersebut.
“Dari mana, Bang?” tanya salah seorang peserta UKW saat aku baru sampai di depan ruang ujian.
“Dari Lingga, Bang,” balasku kepada laki-laki yang sedikit rapi penampilannya itu. Terakhir aku ketahui kalau sosok yang tak sempat kutanyakan namanya itu berasal dari Tanjungpinang.
“Berapa orang dari Lingga, Bang?” tanya seseorang lain yang berada di samping aku berdiri.
“Sendiri saja, Bang. Teman-teman lainnya belum berkesempatan untuk ikut UKW saat ini,” jawabku.
“O,” jawab si penanya dengan singkat dan lagi-lagi aku tak berpikir untuk menanyakan nama dan juga asal daerahnya. Mungkin fokusnya ke ujian. Ha…ha.
Untuk kelas utama yang aku ikuti hanya terdiri satu kelas saja dan diikuti oleh 4 orang peserta. Hari pertama dari 2 hari pelaksanaan UKW tersebut, beberapa materi uji dari 11 mata uji untuk kelas utama telah dilangsungkan. Zulmansyah, tim penguji kami dari PWI Pusat memberikan arahan sekilas terkait dengan mata uji yang diujikan saat itu.
“Jangan lupa menuliskan waktu mulai mengerjakannya,” kata Zulmansyah.
Terlihat juga beberapa peserta UKW di dalam ruangan tempat berlangsungnya UKW sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tentunya ketegangan, kecemasan, dan juga kekhawatiran akan hasil nantinya seperti yang aku rasa saat itu, mungkin juga dirasakan oleh teman-teman peserta lainnya pada UKW gratis dari hasil kerja sama PWI Pusat dengan BUMN itu. Perasaan campur aduk yang aku rasakan saat itu, mungkin juga dirasakan oleh sebagian pengurus PWI Pusat ketika menghadapi “gelombang tsunami” terkait dengan kasus yang lagi panas-panasnya saat ini. Kasus yang terkait juga dengan agenda UKW gratis tersebut. Dalam jalannya pelaksanaan UKW hari itu, aku membayangkan sebagai “pesakitan” dalam menyelesaikan beberapa mata uji. Mungkin hal itu dirasakan juga para pengurus di pusat sana saat permasalahan dugaan kasus itu di hadapan Dewan Kehormatan.
“Mungkin kami juga sama-sama berharap dapat keluar dengan bahagia dari “gelombang tsunami” itu meski dengan riak dan alun yang berbeda,” aku berkata dalam hati.
Dari 11 mata uji, khususnya bagi kelas utama yang ada saat itu, tentunya menjadi salah satu syarat untuk seorang wartawan seperti aku ini terhadap peningkatan kualitas dan profesionalitas, terutama bagi pers Indonesia. Namun sempat juga pikiran nakal terlintas saat itu, bukankah tim penguji sebenarnya juga sedang diuji juga. Setidaknya dalam sudut objektivitas penilaian, tanpa memandang akar, batang, cabang, dan juga daun dari sebuah pohon. Semoga.
Meski puluhan mata disibukkan dengan materi yang diujikan pada masing-masing jenjang, namun suasana tidaklah terlihat tegang-tegang sangat. Masih ada sesekali terdengar suara cekikan kecil atau seloroh-seloroh kecil sebagai pengantar ujian hari itu.
Hari kedua yang sebelumnya disepakati akan dimulai dari pukul 09.00 WIB untuk kelas jenjang utama, namun terpaksa harus sedikit molor menunggu salah satu peserta yang telat datang. Setelah itu, kembali larut seperti suasana sehari sebelumnya.
Terbayang juga malam sebelumnya saat di rumah adik ketika sebelum merebahkan badan di tempat tidur mencoba menelaah sejauh apa peran UKW dalam meningkatkan kualitas dan profesionalitas pers Indonesia saat ini. Namun tentunya banyak juga faktor lain yang memengaruhi kualitas dan profesionalitas dari seorang insan pers. Masih ingat dengan bang Agus yang sebelumnya pernah berkecimpung sebagai jurnalis di Palembang ketika meminta aku untuk mencoba profesi lain, selain menjadi wartawan.
“Kau itu, Man, tak cocok jadi wartawan. Duniamu bukan itu. Carilah kerja lain. Janganlah di jurnalistik,” kata bang Agus waktu itu.
“Kenapa, Bang?” kataku coba bertanya ke mana arah ketidaksetujuan bang Agus itu.
“Kalau karakter awak yang abang lihat saat ini, awak lebih cocok ke seni. Itu lebih cocok untuk awak,” kata bang Agus. Kalau aku tak salah ingat perkataannya masa itu.
Aku juga masih teringat kata-kata seorang teman, saat lagi sewot-sewotnya terkait dengan kerja sama media dengan pihak pemerintah daerah.
“Coba kita pikir, apa bedanya kita yang sudah ikut dan lulus UKW dengan teman-teman yang belum, sama saja. Kerja samanya (dengan Pemkab-red) nilainya sama saja. Tak ada pengaruh nak wartawannya sudah UKW atau belum, nak perusahaannya sudah faktual atau belum, sama saja,” kata temanku saat itu dengan mimik muka yang serius dan kami hanya menanggapinya dengan tertawa terbahak-terbahak.
Kembali lagi ke meja ujian, semua peserta masih juga disibukkan dengan menghadapi soal-soal yang ada. Bahan dari peserta muda juga telah beralih ke meja jenjang madya untuk dipersiapkan hingga nantinya akan menjadi bahan rapat redaksi dengan pihak jenjang utama. Mengulangi siklus rutinitas sebagai sebuah tim dari perjalanan sebuah berita hingga sampai pada pembacanya.
Sebelumnya pada acara pembukaan kegiatan UKW di hari pertama, terlihat juga pejabat, tepatnya kepala daerah yang hadir. Tentunya kehadiran seorang pejabat tersebut mungkin bisa juga dikarenakan kegiatan ini merupakan salah satu perhelatan dari para “kuli tinta” yang dalam tanda petik harus dijaga hubungan baik dengan cara menghadirinya. Keberhasilan pembangunan suatu daerah juga tidak terlepas dari peran media, terlepas apakah wartawannya itu sudah UKW atau belum, atau juga wartawannya tidak berminat dengan uji kompetensi tersebut, namun kontribusi melalui pemberitaan dari kedua wartawan tersebutlah hingga memberikan warna tersendiri dari perkembangan suatu daerah. Apalagi Pilkada juga sudah di depan hidung. Tentunya peran media seketika menjadi sangat “seksi” bagi sebagian calon. Di sini para jurnalis sepertinya bakal “ditarik-tarik” masuk ke gelanggang politik meski bermain di pinggirannya guna membentuk sebuah pencitraan, dan lagi-lagi tidak peduli apakah wartawannya sudah UKW atau belum.
Aku masih disibukkan dengan beberapa bahan uji dengan kode tiga titik sekian itu. Aku juga terpaksa harus menyesuaikan dengan laptop sebagai alat untuk menyelesaikan setiap mata uji yang diberikan pihak penguji.
“Apakah nantinya harus menggunakan laptop atau boleh pakai handphone?” Begitu kira-kira yang aku pertanyakan di grup khusus peserta UKW PWI Kepri beberapa hari sebelum pelaksanaan UKW tersebut. Ini juga dikarenakan kebiasaan selama ini yang sangat bergantung dengan handphone.
Langit Batam masih saja mendung dan sesekali turun rintik hujan. Hal itu aku ketahui ketika permisi ke WC dan melewati jendela kaca hotel tempat berlangsungnya ujian hari itu. Tentunya cuaca di luar sana sejuk dan berbanding terbalik dengan suasana sepanjang pelaksanaan UKW.
Meski ruangannya ada AC, namun masih sempat aku melihat raut-raut kegerahan dari beberapa peserta ujian dan tentunya itu termasuk aku. Untunglah selama berlangsungnya ujian, aku tertolong dengan mengemil gula-gula sebagai bahan pengganti terhadap rokok. Biasanya kalau tanpa rokok, satu kalimat akan susah untuk dituliskan. Nasiblah.
Terkait dengan rokok, aku masih membayangkan seorang wartawan dengan mesin tik tuanya di masa Orde Lama larut dalam menyelesaikan penulisan satu berita dengan ruangan yang dipenuhi oleh asap rokok. Selain itu aku juga meyakini, bahwa wartawan zaman itu dikenal dengan kualitas dan profesionalitas serta tentu saja dengan idealismenya. Hal ini tentunya aku lihat di potongan film atau juga cerita novel dan sejenisnya tentang betapa “gagah” sosok seorang wartawan dengan perjuangan dalam menegakkan satu kebenaran melalui mata penanya, meski harus “kurus” dan identik dengan kemiskinan.
“Nak, jangan pilih wartawan. Wartawan itu susah hidupnya. Lihat saja penampilannya,” begitu kira-kira yang aku baca pada dialog salah satu potongan cerpen saat masih di bangku sekolah tingkat atas.
Namun berjalannya waktu, kini status wartawan sepertinya menjadi salah satu profesi yang lumayan banyak dilirik, seperti juga di Kabupaten Lingga. Tentunya UKW juga harus mengambil peran dan tempat bagi kalangan muda yang ingin benar-benar terjun sebagai jurnalis dan membuat profesi tersebut sebagai sandaran hidupnya. Namun apakah UKW bisa menjamin dan membentuk karakter seseorang hingga bisa meningkatkan kualitas serta profesionalitasnya? Mungkin waktu yang bisa memberikan jawaban semuanya. Mungkin pertanyaan itu sudah pernah dilontarkan oleh seseorang, baik dalam sebuah forum maupun sesama kalangan sendiri sambil meneguk teh tarik atau mengunyah pisang goreng yang sudah dingin.
Aku masih disibukkan dengan mengejar waktu untuk merampungkan beberapa soalan dari mata uji. Sementara itu, Ayu, salah seorang panitia yang ada di dalam ruangan tersebut masih juga dengan ramahnya membantu rekan-rekan wartawan dengan printer di mejanya. Keseluruhan panitia saat itu terlihat sangat familiar dan sangat membantu jalannya pelaksanaan UKW selama 2 hari itu. Tentunya mereka tidak ikut-ikutan merasakan perasaan tegang dan sedikit “seram” dalam menghadapi Uji Kompetensi Wartawan yang digelar oleh PWI Pusat dan bekerja sama dengan pihak BUMN itu.
“Bu, minta tolong printkan,” kataku kepada Ayu sambil menyodorkan flashdisk yang kubeli beberapa hari sebelum berangkat ke Batam.
“Sebentar Bang, ya, lagi ngeprint yang punya abang itu,” kata Ayu sambil menunjuk seseorang.
“Iya Buk, tak apa. Saya tunggu,” kataku dengan tetap berdiri di sampingnya.
Sesaat Ayu meminta flashdisk milikku.
“Yang mana yang mau diprintkan, Bang,” tanya Ayu.
“Itu, Bu,” kataku sambil menunjuk ke arah komputer Ayu.
Kemudian suara printer berbunyi dan diiringi dengan keluarnya kertas hvs dari mesin printer tersebut.
“Terima kasih, Bu Ayu,” kataku bergegas kembali ke meja ujian yang berada di sebelah meja printer Ayu.
Suasana masih seperti biasa. Terkadang terdengar juga salah satu peserta menelepon seseorang dari mata uji jejaring. Meski ujiannya terlihat cukup sederhana, hanya menelepon ke salah satu nomor handphone pilihan dari penguji dari dua puluh nomor yang telah disiapkan oleh peserta, namun di mata uji ini bisa juga menjadi batu sandungan bagi peserta. Tetapi, tentunya para peserta sebelumnya telah mengonfirmasi nama-nama dari dua puluh nama yang ada untuk merespon ketika dihubungi.
Cuaca di luar masih juga mendung dan tiik-titik air hujan masih tertinggal di kaca jendela hotel ini. Namun banyak kalangan yang meyakini bahwa sebuah kualitas dan profesionalitas tentunya lahir juga dari atas hingga membumi. Bukan juga bercampur dengan melihat pohon dari rimbunnya dedaunan saja. (Im).