Selingga.com (26/03) Lingga. Tiga orang advokat senior dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang terdiri dari Adv. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, S.H.,MH, CLA, CIL, CLI, CRA, TM. Luthfi Yazid, S.H.,LLM.,CIL, CLI dan Dr. Stefanus Laksanto Utomo, S.H.,MH pada Senin (25/03/2019) tadi, melayangkan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung RI terhadap Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PERMEN RISTEKDIKTI No. 5 Tahun 2019).
Dari press realease yang diterima oleh pihak media, tiga advokat senior yang sudah berpuluh tahun berprofesi sebagai advokat dan saat ini juga menjadi pimpinan di KAI itu, merasa gerah dengan keluarnya Permen tersebut, yang terkesan keluar tiba-tiba tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap profesi advokat maupun Organisasi Advokat. Kegerahan tersebut dikarenakan pertamannya bahwa pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa: “yang berhak menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) adalah Organisasi Advokat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi….”, sementara PERMEN RISTEKDIKTI No.5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat Pasal 2 ayat (2) huruf c tentang Program Profesi Advokat yang menyatakan bahwa, “PKPA dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Organisasi Advokat……”. Mengapa Permen ini menambah-nambahi syarat untuk penyelenggaraan PKPA, sementara Putusan Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan bahwa Organisasi Advokat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dengan akreditasi minimal B?
Kedua, PERMEN RISTEKDIKTI No.5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat Pasal 2 ayat (2) huruf c dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Organisasi Advokat, sedangkan dalam Undang-Undang Advokat Pasal 2 ayat (1) jelas-jelas disebutkan bahwa Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan PERMEN RISTEKDIKTI No. 5 Tahun 2019 ini adalah ketentuan pasal-pasal karet yang sudah tidak jamannya lagi untuk diterapkan karena selain menimbulkan ambiguitas, namun juga tidak memberikan kepastian hukum (legal certainty).
Ketiga, Pasal tentang pemberian gelar Advokat, dalam PERMEN RISTEKDIKTI No. 05 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat pasal 5 ayat (2), gelar Advokat diberikan oleh Perguruan Tinggi, sedangkan dalam Undang-Undang Advokatpasal 3 ayat (1) huruf f dan pasal 2 ayat (2) yang berhak menguji dan pengangkatan sebagai Advokat adalah Organisasi Advokat. Bagaimana mungkin sebuah PERMEN RISTEKDIKTI No. 5 Tahun 2019 mengesampingkan ketentuan dalam Undang-Undang Advokat.
Oleh sebab itu PERMEN RISTEKDIKTI No.5 Tahun 2019 memiliki kesalahan fatal, minimal dalam tiga level. Pertama, PERMEN RISTEKDIKTI No 05 Tahun 2019 CACAT HIERARKI karena peraturan menteri ini TIDAK TAAT AZAS dan TIDAK KOHEREN. Seharusnya sebuah peraturan yang lebih rendah mengapresiasi peraturan yang ada di atasnya. Secara hierarki perundang-undangan ini jelas keliru. Sudah jelas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan, namun ini justeru pertentangan. Kedua, PERMEN RISTEKDIKTI No 5 Tahun 2019 CACAT SUBSTANTIF karena secara substantive PERMEN RISTEKDIKTI No. 5 Tahun 2019 mengabaikan substansi, hal-hal yang paling mendasar. Sejarah, selama bertahun-tahun telah membuktikan bahwa dunia advokat memiliki otoritas substantive untukmengelola dirinya sendiri sebagai sebuah organ negara yang independen. Organisasi Advokat memiliki kompetensi yang teruji selama bertahun-tahun untuk menempa anggotanya agar memiliki keterampilan praktis, keahlian dan kompetensi sebagai advokat untuk turut serta aktif menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan Perguruan Tinggi ranahnya berada pada tataranteoritis. PERMEN RISTEKDIKTI No 5 Tahun 2019 secarasubstantive mengabaikan serta menihilkan peran Organisasi Advokat yang memiliki otoritas dalam pengembangan hukum praktis. Ketiga, CACAT AKADEMIS, karena TIDAK DIPERHITUNGKAN IMPLIKASI AKADEMIS DAN FINANSIAL. Dengan keluarnya PERMEN RISTEKDIKTI No 5 Tahun 2019 sama sekali tidak dipertimbangkan implikasi akademik secara detil dan finansialnya. Implikasi akademik, misalnya, apakah perlu pemberian gelar akademik ataukah tidak. Bagaimana penerapan Sistem Kredit Semester (SKS) bagi calon advokat agar ilmunya aplikatif. Bagaimana juga dengan imflikasi finansial atau pembiayaan dari penyelenggaraan pendidikan advokat a-quo?
Sekali lagi keluarnya Permen ini adalah sebuah kecerobohan dari lembaga eksekutif yang suka maupun tidak, telah mengintervensi bahkan mengkudeta Organisasi Advokat yang sejatinya mereka lebih tau tentang dunia advokat yang secara historis telah terbukti sanggup mendidik advokat untuk memliki keterampilan praktis guna memperjuangkan prinsip-prinsipnegara hukum dan membela para pencari keadilan (justice seekers). Oleh sebab itu beralasan judicial review/hak uji materiil ini diajukan dan sudah sepatutnya dan secepatnya Permen tersebut agar dicabut sebelum menimbulkan implikasi-implikasi buruk lebih lanjut yang akan merugikan.(Im).
(Press Realease Adv. H. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, S.H.,MH, CLA, CIL, CLI, CRA, Adv. TM. Luthfi Yazid, S.H.,LL.M, CIL, CLI, Adv. Dr. Stefanus Laksanto Utomo, S.H.,MH).