Fakultas Hukum Terancam Jadi "Museum"

Singkep271 Views
banner 468x60

Selingga.com (17/01) Dabo.Masih melekatnya “permusuhan yang abadi” antara penganut Metode Penelitian Hukum Normatif “Murni” dengan klaimnya yang menyatakan bahwa objek studi hukum itu ‘terbatas’ pada norma/hukum positif ( pendekatan Monodispliner ) dengan pihak yang mengandalkan Metode Penelitian Hukum Empiris ( Sosio – Legal ) yang mengambil sudut hukum secara kritis dan juga melihat bekerjanya hukum dalam kenyataan di masyarakat,sehingga pendekatannya lebih ke Interdispliner.
Ini terlihat dalam pemaparan Dr. Widodo Dwi Putro pada seminar Perselisihan Metode Penelitian Hukum Normatif dan metode hukum empiris yang dselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram pada Kamis (17/1) tadi.Seminar yang di selenggarakan di Taman Metajurdika dan Forum Komunikasi Mahasiswa Magister Hukum Unram ini,juga menghadirkan Prof.Amiruddin yang dihadiri lebih kurang 100 orang akademisi dari pihak Unram.
Di kesempatan yang ada saat itu,Widodo Dwi Putra mengemukakan bahwa Dikotomi Metode Normatif dan Empfiris, dapat menyebabkan dua metode tersebut selalu saling berlawanan dan menutup diri untuk tidak saling bekerja sama.Hal tersebut berimbas terhadap perkembangan Ilmu Hukum yang cenderung stagnan.
Perselisihan metode mengeras seolah-olah menjadi perselisihan ideologi, sehingga saling mengharamkan metode yang lain, yang pada gilirannya akan membuat Ilmu Hukum menjadi kerdil, kata Widodo Dwi Putra dalam rilis yang ada.
Widodo Dwi Putra juga menambahkan kalau Dosen Hukum Konsevatif, cenderung membatasi objek penelitian dan hanya tertuju pada pada Peraturan Perundang – Undangan dan Putusan Hakim.
” Dosen Hukum Konservatif cenderung mengajarkan metode penelitian hukum pada mahasiswa nya dengan membatasi objek penelitian dan hanya pada peraturan Peraturan – Undangan serta pada putusan hakim saja.Akibatnya kalau ada Dosen Fakultas Hukum yang mengajarkan metode penelitian dengan melihat hukum bukan sebagai suatu yang ‘Given’, melainkan mendalaminya secara kritis terhadap kepentingan yang terkandung dibalik substansi norma hukum dan juga meneliti Implikasinya pada masyarakat,justru dianggap murtad,kata Dr.Widodo Dwi Putra dalam seminar tersebut.
Dalam pandangannya, disadari atau tidak, pendidikan hukum yang konservatif memiskinkan daya nalar sarjana-sarjana hukum di Indonesia. Para sarjana hukum yang terjun pada dunia praktik cenderung hanya bisa menerapkan hukum, tapi nyaris tidak ada yang tertarik memikirkan pengembangan paradigma hukum dalam praktik hukum.Salah satu contohnya adalah Stagnasi dalam praktik hukum.Seperti sedikitnya putusan – putusan hakim yang dapat dikategorikan sebagai Landmark Decision ( putusan yang menjulang sehingga menjadi tonggak sejarah ) guna memperkaya perbendaharaan Yurisprudensi.Bahkan tidak sedikit putusan – putusan yang dinilai masyarakat, justru melukai rasa keadilan.Seperti putusan Budi Pego, Nuril, Prita, dan sebagainya.
Sementara Metodologi Penelitian Hukum yang Konservatif, berusaha menjaga kemurnian hukum, menolak bekerjasama dengan ranah ilmu lain ( misalnya dengan ilmu – ilmu sosial), hingga mempermasalahkan pada wilayah yang paling teknis seperti menolak penelitian atas data dan beranggapan yang diperlukan adalah Analisis Ilmiah terhadap bahan hukum ( Peraturan Perundang – Undangan dan Putusan Hakim ). (Lihat, Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, 2005, hal. 216 217. Lihat juga, Peter Mahmud, Penelitian HUkum, 2005, hal. 36 dan 141.)
Apabila Fakultas Hukum tetap bertahan dengan segala sikap konservatifnya dan tidak membuka diri bekerjasama dengan ranah ilmu lain ( Interdispliner ), maka dalam Fase Disrufsi dan Revolusi 4.0 ini, maka dalam waktu yang tidak lama peran profesi hukum dapat tergantikan oleh Robot Kecerdasan, tegas Widodo.
Widodo Dwi Putra juga menekankan bahwa,dapat dipastikan kalau korban pertama yang tergilas oleh Robot Kecerdasan adalah para sarjana hukum yang hanya mengandalkan hafalan Peraturan Perundang -Undangan.Sedangkan potensi korban yang kedua adalah, pekerjaan hukum yang bersifat teknis seperti menyusun kontrak juga akan mudah digantikan oleh Robot Kecerdasan.Para pihak yang berkontrak cukup dengan bantuan Robot Kecerdasan, dapat menyusun kontrak bisnis secara mandiri dalam Aplikasi internet di depan komputer. Notaris tidak lagi dibutuhkan untuk membuat kontrak.Perusahaan juga tidak lagi mempekerjakan orang untuk di Divisi Hukumnya.
Widodo Dwi Putra juga mengingatkan, apabila Fakultas Hukum masih bersikap Konservatif, maka semakin tertatih – tatih mengejar pergerakan zaman yang begitu cepat.Ranah penelitian dan Big Data justru dikuasai oleh korporasi raksasa yang orientasinya lebih kuat hasrat komersialisasnya dibanding dunia kampus yang masih mempunyai unsur pengembangan akademis dan pengabdian masyarakat.Dan jika itu terjadi, maka Fakultas Hukum bersiap-siapkah menjadi museum dan masa depan Ilmu Hukum akan dikendalikan dan dikuasai oleh Korporasi Raksasa.
Masa Depan Fakultas Hukum Terancam Jadi Museum
Gejala yang terjadi belakangan ini dalam penelitian, kegiatan penelitian ilmiah dan akademik, dilakukan hanya sekedar sebagai formalitas.Kurang terasa passion sebagai peneliti yang mencari dan menyingkap pendalaman kebenaran.Yang lebih terasa adalah semangat berburu dana penelitian, dan memperoleh nama besar di dunia penelitian ilmiah dan akademik. Sementara Pemerintah dalam hal ini Ristek Dikti, lebih mendorong untuk berlomba-lomba dalam menerbitkan Jurnal Terindeksi Scopus dibanding untuk mendorong penemuan dan Inovasi.Pola berpikir ini akan mendangkalkan seluruh kegiatan terhadap penelitian ilmiah.
Ke depannya yang mendesak untuk mengembalikan Spirit Penelitian yang pertama dalam semangat penelitian, adalah pencarian dan pendalaman kebenaran.Keduanya adalah penemuan-penemuan yang mendorong lahirnya sebuah paradigma baru.
Terlebih lagi untuk Penelitian Hukum yang berbasiskan data, masih dikuasai dan dikapiltalisasi oleh perusahaan raksasa seperti Lexis Nexis dan Westlaw.Dua vendor raksasa ini mengelola database yang memuat segunung rincian kasus dan sering menjadi titik awal penelitian hukum.Mereka juga berfungsi sebagai mesin pencari dan menawarkan sarana analisis yang canggih. Salah satu bidang yang menarik dari praktek dan riset Internet adalah Big Data.Big Data dianggap sebagai teknologi dan arsitektur generasi baru, dan dirancang agar organisasi dapat mensarikan nilai dari volume berbagai data yang sangat besar dengan Capture, Penemuan, dan/atau Analisis dengan kecepatan tingg.Memang belum banyak pekerjaan hukum yang mengunakan Big Data. Susskind, penulis buku Tommorows Lawyers: And intruduction to Your Future memperkirakan bahwa pada suatu saat akan terbukti bahwa Big Data punya makna mendalam bagi pengembanan hukum masa depan.
Masyarakat pengguna jasa hukum cukup mengandalkan Cakram Disk berisikan miliaran Gigabite Data, yang didalamnya tersimpan jutaan kasus dengan solusinya.Sehingga tinggal klik, maka dalam sekejap semua pertanyaan hukum terjawab dalam hitungan detik. Dengan menggabungkan hasil penelusuran data, kita akan menemukan masalah hukum dan kekhawatiran ancaman yang mengganggu masyarakat tertentu; dengan menganalisis Database dapat membantu Regulator atau Legislator dalam membuat Rancangan Peraturan yang mampu mengantisipasi permasalahan hukum dimasa depan.
Revolusi Industri 4.0 juga telah mengubah cara orang – orang berinteraksi dengan hukum.Di bidang hukum, firma-firma hukum, Pengadilan, Kepolisian dan Kejaksaan akan semakin tergantung dan membutuhkan asupan dari Big Data.(Im).

banner 325x300
Baca juga :   Bintang 4 kunjungi pertanian di Singkep

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *